Breyan Alfinda
D1814016
23 Desember 2016
REVITALISASI BUDAYA MELALUI PEMBERDAYAAN PERPUSTAKAAN
NASIONAL RI
Oleh :
Program DIII Ilmu
Perpustakaan
Fakultas ilmu sosial dan
Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2016
ABSTRAK
Khasanah budaya
berupa naskah kuno merupakan salah satu hasil pemikiran gemilang masyarakat Nusantara di masa lampau.
Keterbatasan dalam upaya pelestarian
warisan budaya tersebut menyebabkan kandungan nilai-nilai dan pandangan hidup yang memberikan kontribusi
positif bagi kemajuan bangsa tergerus
arus globalisasi. Perpustakaan Nasional RI berpeluang mewujudkan upaya pelestarian warisan budaya bangsa yaitu
dengan mendukung kegiatan penelitian,
pengkajian,dan penyebarluasan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Upaya pelestarian nilai-nilai
budaya lebih menjamin keberadaan warisan
budaya hingga ribuan tahun yang akan datang.
LATAR BELAKANG
Hasil gemilang yang dicapai masyarakat
Nusantara di masa lampau dalam menuangkan hasil pemikiran melalui tulisan telah
dikenal luas oleh dunia internasional. Ide, gagasan, dan pandangan mereka
mengenai manusia dan semesta alam serta hal-hal yang melingkupinya terekam
dalam naskah-naskah kuno yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Naskah
yamg merupakan warisan budaya masa lalu tentu memuat catatan berharga di masa
itu yang memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan masyarakat sekarang.
Penekanan pada masyarakat mengenai pentingnya menggali nilai-nilai luhur yang
termuat di dalamnya akan menumbuhkan pemahaman bahwa kekayaan yang tak ternilai
harganya tersebut merupakan khasanah kebudayaan bangsa yang harus
dilestarikan. Upaya pelestarian perlu
dilakukan mengingat naskah-naskah peninggalan zaman dahulu banyak dijumpai
dalam kondisi tidak utuh. Sebagai warisan budaya yang memiliki wujud konkret,
naskah-naskah kuno sering dikategorikan sebagai warisan budaya benda (tangible) dan menuntut penanganan khusus
karena mudah rusak. Sayangnya, upaya pelestarian warisan budaya masa lampau
yang termasuk warisan budaya benda (tangible)
banyak menghadapi kendala. Hal yang sering diperdebatkan dalam penanganan
naskah kuno adalah usaha pelestarian secara fisik yang berkaitan dengan
penyimpanan atau pengawetan naskah. Padahal, pelestarian nilai-nilai budaya
yang menjadi sumber sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sosial
budaya justru lebih penting.
Terkait dengan hal itu, perpustakaan
sebagai tempat untuk menyimpan dan menyebarkan ilmu pengetahuan memainkan
peranan yang signifikan. Penyimpanan khasanah budaya bangsa atau masyarakat
tempat perpustakaan berada serta peningkatan nilai serta apresiasi budaya dari
masyarakat sekitar perpustakaan melalui penyediaan bahan bacaan merupakan
fungsi kultural perpustakaan. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Sulistyo-Basuki dalam Pengantar
Ilmu Perpustakaan (1991) tersebut, perluasan fungsi kultural perpustakaan
nantinya harus mengarah pada upaya pelestarian nilai-nilai kebudayaan.
Perpustakaan dari masa ke masa tak terlepas
dari perkembangan budaya umat manusia. Budaya yang oleh Koentjaraningrat
dirumuskan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar bersifat abstrak. Bentuk tercetak dari hasil pemikiran
orang-orang zaman dahulu yang sekarang dikenal sebagai warisan budaya materi (tangible) dalam bentuk naskah-naskah
kuno memuat nilai budaya dan makna simbolis yang berarti bagi pengukuhan jati
diri sebuah bangsa. Penyimpanan naskah-naskah kuno oleh perpustakaan
memungkinkan budaya masa lalu mendapatkan tempat lagi dalam tatanan sosial
budaya masyarakat yang baru. Peran perpustakaan sebagai wadah budaya yang
menjadi rantai sejarah masa lalu dan pijakan yang berarti bagi masa depan tak
dapat diabaikan.
Berangkat dari wacana untuk memperbaiki
kondisi bangsa yang kini tengah dilanda krisis multidimensi, berbagai kalangan
mengungkapkan perlunya upaya penggalian nilai-nilai budaya masa lalu. Kebutuhan
akan identitas diri atau jati diri bagi sebuah bangsa di tengah maraknya
globalisasi menggugah bangsa ini untuk memberdayakan nilai-nilai budaya yang
dibutuhkan dalam menghadapi tantangan masa depan. Kesadaran untuk menemukan
kembali akar kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat mengukuhkan
gagasan untuk lebih meningkatkan penelitian, pengkajian, dan penyebarluasan
khasanah kebudayaan yang tergolong langka tersebut.
Perpustakaan Nasional RI yang mempunyai tugas
pokok membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan
perpustakaan dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai hasil budaya dan
pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan memainkan peran
strategis dalam mewujudkan gagasan tersebut. Selanjutnya, pelestarian khasanah
budaya dapat direalisasikan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
pada semua kalangan, khususnya para peminat dan pecinta naskah Nusantara, untuk
menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam naskah-naskah kuno melalui
penelitian, pengkajian, maupun pengajaran. Masalahnya, hal-hal apa saja yang
perlu dilakukan untuk mendukung langkah positif tersebut.
MENUMBUHKAN KEMBALI TRADISI
YANG TERPUTUS
Penerjemahan dan penyaduran naskah-naskah
kuno dari bahasa aslinya ke dalam bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat
modern telah banyak dilakukan oleh para ahli dari dalam maupun luar negeri.
Sumbangan mereka sangat besar terutama dalam menghidupkan kejayaan masa lalu.
Masa lalu menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia karena masa lalu adalah
sumber inspirasi yang berfungsi sebagai pijakan menuju masa depan. Andil
perpustakaan dalam upaya menghidupkan kembali kebesaran masa lalu tampak jelas
dalam pengungkapan kembali khasanah kesusastraan purba pra-Kristiani yang
menggunakan bahasa Latin kuno oleh kaum humanis.
Penerbitan naskah berbahasa Latin secara
besar-besaran yang dilakukan Gereja Khatolik untuk melawan pembaharuan agama
yang dipelopori Martin Luther menyebabkan jumlah buku-buku berbahasa Latin
melimpah di pasaran. Gerakan Kontra-Reformasi yang berlangsung singkat
menyurutkan perhatian kalangan terpelajar di Eropa terhadap naskah-naskah
tersebut. Akibatnya, buku-buku yang telanjur dicetak dalam jumlah besar sulit
dijual. Perpustakaan-perpustakaan Khatolik berusaha menampung buku-buku yang
beredar hingga muncul penghargaan
terhadap pencapaian kecanggihan gaya penulisan para penulis di masa itu
di era selanjutnya (Anderson, 2001). Penyimpanan naskah-naskah berbahasa Latin
yang dilakukan perpustakaan-perpustakaan Khatolik memungkinkan naskah-naskah
itu menjadi rujukan kaum inteligensia di kemudian hari.
Hal yang sama juga dilakukan di Indonesia.
Naskah-naskah kuno dikaji agar semangat kebesaran di masa lampau dapat
dihidupkan kembali. Penerjemahan dan penyaduran dilakukan agar masyarakat
Indonesia masa kini dapat mempelajari prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur
yang mendukung kemajuan bangsa. Karya-karya pujangga masa lalu yang disimpan di
museum atau perpustakaan daerah diteliti, dikaji, dan disebarluaskan melalui
pengajaran secara ilmiah.
Perpustakaan Nasional RI jelas memiliki
peluang yang cukup besar dalam upaya tersebut. Kedekatan Perpustakaan Nasional
RI dengan masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan memungkinkan
penerjemahan dan penyaduran naskah kuno ke dalam bahasa Indonesia tanpa
mengesampingkan nilai artistik yang dicapai dalam bahasa aslinya. Naskah-naskah
kuno tidak hanya memuat cerita atau pesan tersirat tetapi juga unsur artistik
dan estetik yang mencerminkan karakter masyarakat tertentu. Penerjemahan dan
penyaduran yang disertai versi aslinya memungkinkan masyarakat menemukan
karakteristik tersebut.
Uniknya, hasil penerjemahan dan penyaduran Centhini ke dalam bahasa Indonesia yang
diterbitkan Galang Press justru berasal dari adaptasi Centhini versi Prancis oleh Elizabeth D. Inandiak (2002). Sebagai
hasil penerjemahan dan penyaduran dari sebuah karya adaptasi berbahasa asing,
tak ada penuturan versi Jawa yang dicantumkan di dalamnya. Dalam penerjemahan
dan penyaduran karya-karya pujangga Jawa, versi asli dalam bahasa Jawa biasanya
dicantumkan. Hal itu dianggap penting karena spirit atau nuansa yang melingkupi
ketika karya itu dibuat hanya dapat dirasakan dalam penuturan bahasa
aslinya.
Koleksi terjemahan naskah-naskah berbahasa
Jawa seperti Wedhatama,Kalatidha,
Cemporet, dan Joko Lodhang yang
disimpan di Museum Radya Pustaka Surakarta banyak yang masih memuat versi Jawa
naskah-naskah terkenal itu. Namun, antusiasme masyarakat terhadap keberadaan
naskah-naskah tersebut tak sebesar antusiasme mereka terhadap Centhini adaptasi Inandiak. Kenyataan
yang terjadi di masyarakat terkadang sulit diperkirakan. Sambutan mereka
terhadap “wajah baru” Centhini mungkin
terjadi karena banyak diberitakan media yang secara tidak langsung mempengaruhi
hasil promosi penjualan buku-buku tersebut.
Penerimaan masyarakat terhadap sebuah
wacana seringkali hanya sebatas bungkus luarnya saja. Pemaknaan kandungan
sebuah naskah kuno secara mendalam hanya dapat dilakukan apabila tradisi
membaca dan menulis menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat.
Namun, upaya menumbuhkan kembali tradisi membaca dan menulis akan sangat sulit.
Tradisi membaca dan menulis yang dulu mengakar kuat di kalangan masyarakat
Nusantara telah tenggelam di tengah kesibukan masyarakat masa kini yang semakin
terdesak oleh tuntutan ekonomi. Sutarno dalam Perpustakaan dan Masyarakat (2003) bahkan berpendapat bahwa budaya
baca tampaknya memang merupakan “privilese”
bagi kalangan tertentu.
Peran Perpustakaan Nasional RI dalam
membudayakan kegiatan membaca di tanah air yang telah menjadi begitu mahal
perlu disinergikan dengan upaya menumbuhkan kegiatan penelitian dan pengkajian
naskah kuno untuk kepentingan budaya jangka panjang. Tujuan dari penelitian dan
pengkajian naskah-naskah kuno adalah tujuan jangka panjang yang ditujukan pada
upaya menumbuhkan kembali tradisi membaca dan menulis. Kembalinya tradisi
membaca dan menulis secara tidak langsung akan mendukung pelestarian khasanah
budaya berbentuk naskah-naskah kuno dengan sendirinya. Masyarakat yang identik
dengan tradisi membaca dan menulis akan mewujudkan kepeduliannya dengan
melakukan penelitian dan pengkajian mendalam untuk selanjutnya disalin dan
dibukukan kembali agar bisa disebarluaskan.
REVITALISASI NILAI - NILAI
BUDAYA
Hal terpenting
dalam upaya pelestarian khasanah budaya bangsa adalah pelestarian nilai-nilai
luhur budaya yang menjadi petunjuk sikap dan tingkah laku dalam kehidupan
sosial budaya. Pelestarian budaya yang hanya ditujukan pada perawatan fisik
benda-benda peninggalan purbakala tidak akan memberikan pengaruh besar pada
upaya bangsa Indonesia dalam mencapai kemajuan. Bangsa Indonesia membutuhkan
identitas atau jati diri sebagai sebuah bangsa dan hal itu hanya dapat
dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran akan pemahaman terhadap kenyataan
sejarah dan budaya.
Masyarakat membutuhkan perpustakaan umum
sebagai sarana untuk menemukan kembali hal-hal yang berhubungan dengan
kebudayaan di masa lalu. Pengembangan peran perpustakaan dalam pelestarian
khasanah budaya bangsa akan menemukan saluran yang tepat apabila upaya
pelestarian tidak hanya dilakukan pada bentuk fisiknya. Perpustakaan memiliki
peran yang lebih penting yaitu melestarikan nilai-nilai moral yang melingkupi
warisan budaya tersebut. Kenyataan sekarang menunjukkan adanya keterkaitan
antara bobroknya moral masyarakat dan tenggelamnya pengaruh nilai-nilai luhur
budaya bangsa di era globalisasi.
Di lingkup kebudayaan, kesadaran masyarakat
masa kini terhadap manfaat perpustakaan hendaknya ditujukan untuk mengembangkan
nilai-nilai budaya menjadi pegangan hidup. Nilai-nilai budaya yang dapat digali
dari tradisi masa lalu tidak hanya nilai-nilai yang bermanfaat untuk mengasah
budi pekerti tetapi juga nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan
masa depan seperti disiplin, gotong royong, dan kerja keras. Upaya itu hanya
terwujud apabila perpustakaan juga difungsikan sebagai pusat penelitian dan
pengkajian budaya dan ilmu-ilmu yang mendukung. Kegiatan penelitian dan
pengkajian akan mempengaruhi pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna untuk
masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, perpustakaan
selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku dan penyedia informasi juga
berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah, perpustakaan umum pada masa kekuasaan Khalifah Harun
al-Rasyid yang semula didirikan dengan nama Khizanah
al-Hikmah merupakan contoh perpustakaan yang juga difungsikan sebagai pusat
kegiatan studi, riset astronomi, dan matematika (Syihabuddin, dkk., 2003). Ilmu
pengetahuan yang dihasilkan di lingkungan perpustakaan pada masa itu memberikan
sumbangan pencerahan bagi masyarakat. Seandainya Perpustakaan Nasional RI
sebagai perpustakaan umum terbesar di Indonesia juga mampu difungsikan sebagai
pusat penelitian, peran perpustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak
hanya akan menjadi wacana.
Peran perpustakaan dalam penelitian dan
pengkajian budaya memungkinkan nilai-nilai budaya ditransformasikan menjadi
pedoman sikap dan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Revitalisasi nilai budaya dianggap penting karena terbentuknya budaya baru yang
berasal dari nilai-nilai luhur tradisi masa lalu diharapkan mampu mengangkat
bangsa ini dari keterpurukan. Pelestarian warisan budaya yang hanya ditujukan
pada segi fisiknya saja tidak akan ada artinya. Biaya yang dikeluarkan untuk
tujuan itu akan sia-sia. Sebaliknya, pelestarian warisan budaya yang menjadikan
nilai-nilai budaya sebagai unsur utama jauh lebih berguna.
Revitalisasi nilai budaya adalah tanggung
jawab masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri melalui sarana-sarana
penyaluran yang telah ditentukan. Perpustakaan umum seperti halnya Perpustakaan
Nasional RI adalah sarana penyaluran yang tepat untuk mewadahi kepentingan
masyarakat berkaitan dengan hal itu. Perpustakaan menjadi tempat berkumpulnya
berbagai kalangan masyarakat yang peduli terhadap upaya pelestarian harta
warisan budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Peran Perpustakaan Nasional RI dalam
revitalisasi nilai budaya setidaknya akan meredakan kerisauan pihak-pihak yang
peduli pada upaya pelestarian warisan budaya bernilai sejarah terhadap
keberadaan naskah-naskah peninggalan zaman kerajaan di luar negeri. Henry
Chambert-Loir, direktur Ecole Francais
d’ExtremeOrient (EFEO – Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh) boleh
berpandangan bahwa kenyataan banyaknya naskah Melayu yang tersimpan di berbagai
negara di luar negeri justru menguntungkan mengingat kondisi Indonesia pada
masa itu (Kompas, 20 Mei 1999). Akan tetapi, kenyataan akan jauh lebih
menguntungkan apabila nilai-nilai luhur yang termuat di dalamnya tetap lestari
di negeri asalnya.
APRESIASI MASYARAKAT PENDUKUNG
KEBUDAYAAN
Tantangan untuk mengembalikan kebanggaan
masyarakat di tanah air terhadap khasanah budaya bangsa yang berupa
naskah-naskah kuno memang sulit diwujudkan. Kebanggaan terhadap cagar budaya
yang diakui dunia seperti Borobudur dan warisan non-bendawi seperti lagu, tari
maupun wayang pun masih tipis. Masyarakat Indonesia saat ini lebih mengagumi
budaya yang datang dari luar daripada budaya yang tumbuh dan berkembang di
negeri sendiri. Kecenderungan ini semakin diperparah dengan merosotnya nilai
moral, menipisnya solidaritas sosial, menjamurnya praktik politik kotor, dan
memburuknya kondisi perekonomian.
Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini selain kurang dalam
memberikan apresiasi terhadap budaya leluhur juga kurang memiliki etos
kebudayaan. Padahal, etos kebudayaan itu sendiri bersumber dari
nilai-nilai luhur yang
terangkum dalam tradisi
masa lampau. Bangsa-bangsa Asia
lainnya seperti Jepang, Korea, Cina, dan India telah membuktikan bahwa
kesadaran akan sejarah masa lalu berpengaruh besar terhadap kemajuan bangsa.
Kemapanan ekonomi dan kemajuan teknologi yang dicapai bangsa-bangsa tersebut
tidak membuat mereka melupakan tradisi masa lampau. Sebaliknya, mereka justru
berpikir untuk menyebarluaskannya ke seluruh dunia.
Keberhasilan mereka dalam menghidupkan
nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya lama untuk mempertegas jati diri
bangsa mengukuhkan keberadaan mereka di tengah globalisasi. Prinsip rajin,
mandiri, dan bekerja keras bersumber dari tradisi masa lalu menjadi kekuatan
vital yang menuntun bangsa-bangsa tersebut mempunyai visi, imajinasi, dan
kreativitas tanpa batas. Individu yang menjadi bagian di dalamnya pun mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan diri dan menemukan yang terbaik bagi dirinya.
Intinya, kebudayaan yang sehat adalah kebudayaan yang memberi kemungkinan dan
kesempatan agar mereka yang hidup di dalamnya dapat berkembang menjadi dirinya
sendiri (Kompas, 19 Mei 2006). Pernyataan tersebut dikemukakan Myrna Ratna,
wartawan Kompas, yang dituangkan dalam lembaran khusus Kompas “Sewindu
Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030” berkaitan dengan reformasi kebudayaan
untuk kemajuan bangsa.
Bercermin dari bangsa-bangsa Asia yang
berhasil menjadikan tradisi leluhur sebagai modal dasar untuk membangun, bangsa
Indonesia harus mulai memikirkan pentingnya penghayatan terhadap tradisi dan
sejarah. Krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini hendaknya menumbuhkan
kesadaran untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang mengungkapkan
kebesaran masa lalu. Perpustakaan Nasional RI yang terkenal dengan koleksi
naskah kuno dan ribuan buku langka
adalah penyedia sarana yang tepat untuk upaya tersebut.
Perpustakaan Nasional RI mempunyai peluang
untuk mengembangkan wacana mempelajari budaya melalui karya-karya besar masa
lampau sebagai kegiatan intelektual yang membuat setiap individu yang terlibat
di dalamnya menemukan hal-hal yang menarik dan juga dapat dibanggakan.
Akhir-akhir ini, hal semacam itu telah
dimunculkan oleh beberapa kalangan pecinta khasanah sastra Nusantara dengan
mengemas hasil pengkajian karya-karya lama dalam konteks kekinian. Penerjemahan
dan penyaduran Chentini dari karya
adaptasi Inandiak dalam bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia berhasil
menarik perhatian masyarakat Indonesia. Banyak kalangan akademisi dan
masyarakat luas yang menyoroti keberadaan buku itu, baik di media massa maupun
dalam diskusi-diskusi kecil.
Kenyataan itu membuktikan bahwa masyarakat
Indonesia sesungguhnya memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap
karya-karya gemilang peninggalan masa lampau. Peluang untuk menonjolkan hal-hal
menarik dalam pengkajian khasanah budaya
Nusantara telah mendapatkan momentum yang tepat. Keberadaan Perpustakaan
Nasional RI di tengah kerinduan masyarakat terhadap kajian tentang kebudayaan
mereka sendiri sangat signifikan. Realisasi dari wacana tersebut sebaiknya
dimulai dengan mengadakan diskusi-diskusi kecil bersifat terbuka dan yang
terpenting mengikutsertakan masyarakat luas dari berbagai kalangan.
Informasi-informasi yang relevan menyangkut
pemberdayaan warisan budaya yang berasal dari sumber-sumber terpercaya
sebaiknya juga disosialisasikan dalam kesempatan tersebut. Hal itu perlu
dilakukan mengingat pemberitaan-pemberitaan di media massa banyak yang
menyebutkan bahwa gagasan pemanfaatan warisan budaya yang berkembang di
masyarakat cenderung berorientasi ekonomi. Benda budaya materi (tangible) seperti arca dan
tulisan-tulisan kuno dinilai menguntungkan karena bisa diperjualbelikan dengan
harga bernilai ratusan juta. Sedangkan, situs budaya seperti candi dan kraton
dieksploitasi untuk kepentingan pariwisata. Situs budaya memang harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya tetapi
tidak boleh melampaui batas. Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa benda
warisan budaya masa lalu merupakan sumber daya yang tak dapat diperbaharui (nonrenewable resources).
Langkah
selanjutnya yang perlu diupayakan untuk menumbuhkan ketertarikan dalam
pengkajian naskah kuno adalah mendorong orang-orang yang terlibat dalam upaya
tersebut agar mampu berkomunikasi dengan baik sehingga menarik perhatian
masyarakat. Selain itu, pustakawan dan juga ahli purbakala harus bangga dengan
profesi mereka. Dengan kata lain, kebanggaan terhadap profesi akan menumbuhkan
rasa percaya diri dan keyakinan bahwa mereka memang pantas mendapat penghargaan
berupa pengakuan dari masyarakat. Apresiasi masyarakat pendukung kebudayaan
adalah modal utama yang tak bisa diabaikan.
Berhasil tidaknya wacana berbasis kebudayaan
yang cukup inovatif tersebut tergantung pada masyarakat pendukung kebudayaan
itu sendiri. Masalahnya, kegiatan semacam itu umumnya diminati kalangan
tertentu saja dan kemungkinan untuk menjadikannya populer sangat kecil. Upaya
untuk menjadikan pengkajian naskah kuno sebagai kegiatan intelektual yang
mempunyai nilai istimewa di mata masyarakat adalah sebuah pilihan. Wacana ini
berangkat dari tujuan awal menemukan sesuatu yang khas Indonesia yang bersumber
dari khasanah budaya Nusantara di masa lampau untuk menegaskan identitas
kebangsaan. Koentjaraningrat mengungkapkan dalam Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (1983) bahwa
kesenian, termasuk di dalamnya seni sastra merupakan unsur kebudayaan yang
dapat menonjolkan kualitas dan sifat khas bangsa Indonesia.
Naskah-naskah kuno yang merupakan buah
pemikiran gemilang di masa lampau memang harus digali kandungan isinya agar
dapat dikembangkan untuk menegaskan jati diri bangsa Indonesia di tengah
kepungan globalisasi. Sayangnya, penelitian dan pengkajian terhadap
naskah-naskah kuno yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri masih sangat terbatas.
Penyebarluasannya di masyarakat pun tidak dilakukan secara menyeluruh dan hanya
menyentuh kalangan tertentu saja. Selain itu, penyajiannya ke tengah masyarakat
sering tidak disertai kupasan yang menarik dalam bentuk resensi atau artikel
lepas di media massa. Padahal, kupasan semacam itu merupakan suatu bentuk
promosi kecil yang dapat mempengaruhi seseorang untuk mengetahui keseluruhan
isinya. Kalau hal seperti itu tidak diperhatikan, upaya untuk menjadikan
pengkajian naskah kuno sebagai sesuatu yang memiliki prestise tersendiri akan
jauh dari pencapaian.
KESIMPULAN
Perpustakaan dan budaya memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Perpustakaan memainkan peran penting dalam upaya
pelestarian khasanah budaya bangsa. Perpustakaan dapat difungsikan secara
optimal dengan melakukan hal-hal yang mendukung upaya pelestarian bentuk fisik
warisan budaya sekaligus pesan moral yang melingkupinya. Langkah positif
tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatkan penelitian dan pengkajian
terhadap naskah-naskah kuno melalui upaya menumbuhkan kembali tradisi membaca
dan menulis, memupuk kebanggaan masyarakat terhadap khasanah budaya yang berupa
naskah-naskah kuno, dan lebih mengutamakan upaya pelestarian nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalamnya.
Perkembangan perpustakaan dalam sejarah
umat manusia tak terlepas dari hambatan dan tantangan. Hambatan dan tantangan
yang ada seharusnya diartikan sebagai sumber inspirasi untuk mengembangkan
kegiatan di luar visi dan misi perpustakaan sebelumnya. Upaya mengoptimalkan
peran Perpustakaan Nasional RI dalam pelestarian khasanah budaya bangsa seperti
yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan saran yang membangun untuk
mengatasi hambatan dan tantangan yang seringkali timbul dalam mengembangkan
fungsi kultural perpustakaan. Perpustakaan yang hanya difungsikan untuk tempat
penyimpanan tidak akan memberikan pengaruh yang berarti dalam upaya pelestarian
warisan budaya berupa nilai-nilai luhur yang berlaku sebagai tuntunan sikap dan
perilaku dalam kehidupan sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
Benedict. 2001. Imagined Communities
( Komunitas - Komunitas
Terbayang). Terjemahan: Omi
Intan Naomi. Yogyakarta:
Insist Press &
Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat.
1983. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas,
dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia.
_____________. 1990. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
N. S.,
Sutarno. 2003. Perpustakaan dan
Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Ratna,
Myrna. Sewindu Reformasi Mencari Visi
Indonesia 2030: Menyemaikan Etos Bangsa. Kompas, 19 Mei 2006.
Ribuan Naskah Melayu Kuno
Tersebar di 30 Negara. Kompas, 20 Mei 1999.
Sulistyo-Basuki.
1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
_____________. 1994. Periodisasi
Perpustakaan di Indonesia.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Qalyubi,
Syihabuddin, dkk. 2003. Dasar-dasar
Ilmu Perpustakaan dan
Informasi. Yogyakarta: Jurusan
Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab, IAIN Sunan Kalijaga.
Lihat Profil Penulis>>